Sabtu, 28 Agustus 2010

Abdurrahman bin ‘Auf

"Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya kamu termasuk kaum yang kaya raya, dan kamu akan masuk surga dengan merangkak. Oleh karena itu, pinjamkanlah suatu pinjaman kepada Allah sehingga Allah membebaskan kedua telapak kakimu." (HR. al-Hakim, 3/ 311 dan al-Hilyah, 1/ 99)
Sosok Abdurrahman bin ‘Auf memang menjadi ikon tersendiri tentang kekayaan jaman sahabat. Dan kekayaan beliau bukan isapan jempol belaka. Pernah suatu ketika iring-iringan barang dagangnya yang mencapai 700 unta menggegerkan warga Madinah. Tidak hanya itu, masih banyak lagi aset beliau, bisa dikatakan konglomerat jaman ini pun tak bisa menyainginya. Bahkan Utsman bin Affan r.a. yang terbilang kaya pun ikut mengambil bagian dari wasiat menjelang wafatnya Abdurrahman bin ‘Auf , serta katanya:"Harta Abdurrahman bin 'Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa selamat dan berkat".
Berikut ini adalah jumlah infak Abdurrahman bin ‘Auf yang terdokumentasikan semasa beliau masih hidup.
1)Sedekah pertama 4.000 dinar (Rp 4,250,000,000)
2) Sedekah kedua 40.000 dinar (Rp 42,500,000,000 )
3) Sedekah ketiga 40.000 dinar (Rp 42,500,000,000)
4) Unta fisabilillah sebanyak 1.000 ekor (Rp 10,000,000,000 )
5) Tanah untuk Istri2 Rasulullah 40.000 dinar (42,500,000,000 )
Sehingga total perkiraan Infak beliau saat masih hidup Rp 141,750,000,000
Itu belum termasuk wasiat beliau setelah wafat. Kalau dihitung jumlah keseluruhannya aset minimal adalah Rp 599,675,000,000 ( Rp 600 Milyar ).
Sedang harta warisan beliau adalah Rp 2,72 Trilyun. Jadi kalau kita perkirakan bahwa harta beliau berkisar minimal antara Rp 600 Milyar plus Rp 2,7 Trilyun, itu belum termasuk bongkahan emasnya!
Yap, itulah Abdurrahman bin ‘Auf, Sang konglomerat yang dermawan. Yang menjadikan bisnis beliau sukses dan berkah adalah karena beliau sangat memperhatikan kehalalan bisnisnya. Beliau semakin sukses dan berkah karena harta yang diperolehnya bukan untuk simpanan pribadi melainkan untuk kepentingan di jalan Allah. Jika kesuksesan dihitung dari jumlah simpanan dan keuntungan yang diperoleh, maka kesuksesan bisnis Abdurrahman bin ‘Auf dihitung dari jumlah kekayaan yang ia dermakan untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah.
Meskipun hartanya melimpah, Abdurrahman bin ‘Auf tidak diperbudak harta. Buktinya, beliau tidak mati-matian berbisnis demi mendapatkan keuntungan yang berlipat. Beliau membangun dan mengembangkan bisnisnya dengan santai, halal dan tentu hasilnya pun tidak dinikmati sendiri, melainkan dinikmati juga oleh keluarga, teman dan masyarakat. Beliau belum merasa puas apabila harta yang dimilikinya tersebut belum bisa membantu perjuangan Islam dan membantu saudara-saudaranya.
Dari dulu hingga zaman modern ini, harta kekayaan biasanya mengundang kekuasaan. Orang kaya selalu ingin mempunyai pengaruh untuk melindungi kekayaan mereka dan melipatgandakannya, sekaligus menimbulkan sifat tercela seperti sombong, sewenang-wenang serta egois. Tapi, kalau kita melihat Abdurrahman bin ‘Auf dengan kekayaannya yang melimpah, hanya dua kata yang bisa kita katakan, “Luar Biasa”.
Ketika Rasulullah SAW. membutuhkan banyak dana untuk menghadapi tentara Rum dalam perang Tabuk, Abdurrahman bin ‘Auf menjadi salah satu pelopor dalam menyumbangkan dana. Beliau menyerahkan dua ratus uqiyah emas. Melihat hal itu, Umar bin Khaththab berbisik kepada Rasulullah SAW, “Agaknya Abdurrahman berdosa, dia tidak meninggalkan uang belanja sedikit pun untuk keluarganya.”
Maka, Rasulullah pun bertanya kepada Abdurrahman, “Adakah engkau tinggalkan uang belanja untuk keluargamu?”
Abdurrahman menjawab, “Ada, ya Rasulullah. Mereka saya tinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang saya sumbangkan. Sebanyak rizki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah.”

Sumber : Khalid, Khalid Muhammad.60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW.2009.Jakarta:Al-I’tishom Cahaya Umat --- www.blog.muslim-indonesia.com --- www. indonesiaoptimis.com --- www. sinar-hidup-tokoh.blogspot.com

Nuzulul Qur’an, Adat atau Tanggung Jawab?

Sebenarnya masih ada beda pendapat tentang kapan waktu pertama kali Al-Qur’an diturunkan. Ada tiga pendapat mengenai hal ini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu ada pada bulan Rabiul Awal. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu pada bulan Rajab. Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu pada bulan Ramadhan. Tapi para ulama menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an ada pada bulan Ramadhan karena Allah SWT berfirman yang artinya : “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)” (QS. Al-Baqarah: 185)
Maka dari itu, tidak heran jika sampai sekarang kita masih melihat masyarakat yang merayakan Nuzulul Qur’an. Biasanya pada tanggal 17 Ramadhan hingga memasuki 10 hari terakhir Ramadhan. Peringatan terhadap turunnya Al Qur’an diwujudkan oleh masyarakat dalam berbagai acara, ada yang dengan mengadakan pengajian umum. Dari mereka ada yang merayakannya dengan pertunjukan pentas seni, semisal qasidah, nasyid dan lainnya. Dan tidak jarang pula yang memperingatinya dengan mengadakan pesta makan-makan.
Sehingga, biasanya dibentuk panitia khusus untuk memperingati Nuzulul Qur’an ini. Selama Ramadhan, hari H inilah yang ditunggu-tunggu. Hari demi hari mempersiapkan konsep acara dengan matang hingga ibadah pun menjadi yang nomor dua. Bagaimana tidak, panitia tidak mau mengambil resiko acara peringatan Nuzulul Qur’an yang menghabiskan dana yang tidak sedikit ini kacau. Apalagi acara peringatan ini menghadirkan ustad dan grup qasidah yang cukup ternama yang juga dihadiri tamu-tamu dari desa tetangga.
Memperingati peristiwa Nuzulul Qur’an bukanlah hal yang penting dan harus menjadi prioritas. Rasulullah tidak pernah mencontohkan pada kita bahwa kita harus memperingati Nuzulul Qur’an. Karena pada dasarnya, Al-Qur’an ini diturunkan bukan untuk diperingati, tetapi untuk memperingatkan kita. Peristiwa turunnya AL-Qur’an bukanlah suatu hari raya bagi umat Islam. Dengan begitu, tidaklah pantas kalau kita ‘mengharirayakan’ Nuzulul Qur’an.
Rasulullah memperingati turunnya Al Qur’an pada bulan Ramadhan dengan membaca Al-Qur’an penuh penghayatan akan maknanya. Tidak hanya berhenti pada mudarasah, beliau juga banyak membaca Al Qur’an pada shalat beliau, sampai-sampai pada satu raka’at saja, beliau membaca surat Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa’, atau sebanyak 5 juz lebih.
Inilah yang dilakukan Rasulullah pada bulan Ramadhan, dan demikianlah cara beliau memperingati turunnya Al Qur’an. Tidak ada pesta makan-makan, apalagi pentas seni, nyanyi-nyanyi, sandiwara atau tari menari.
Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman dalam hidup kita. Alangkah lebih baik kita belajar dan mengamalkan Al-Qur’an. Daripada memperingati Nuzulul Qur’an dengan pesta tidak jelas maknanya. Karena dengan belajar dan mengamalkan Al-Qur’an, itu sudah menjadi salah satu kontribusi kita untuk tetap melestarikan Al-Qur’an. Tentu saja itu sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita sebagai seorang muslim. Bukankah tanggung jawab lebih indah dibandingkan dengan adat?
Kita mengaku mencintai dan beriman kepada Al Qur’an, dan selanjutnya kecintaan dan keimanan itu diwujudkan dalam bentuk tarian, nyayian, pesta makan-makan. Kapankah kita dapat membuktikan kecintaan dan keimanan kepada Al Qur’an dalam bentuk tadarus, mengkaji kandungan, dan mengamalkan nilai-nilainya?

Senin, 02 Agustus 2010

Padusan, Tradisi Sambut Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang dinantikan oleh semua umat Islam. Bulan ini begitu istimewa, sehingga banyak orang yang telah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Bulan Sya’ban tentu akan menjadi bulan sibuk dalam rangka persiapan menyambut Ramadhan. Dalam rangka menyambut datangnya bulan suci, tidaklah salah jika kemudian di berbagai daerah berkembang berbagai tradisi penyambutan. Di kebanyakan dusun dan desa di wilayah Jawa sendiri, setelah tradisi ruwahan atau nyadran, rangkaian bulan Sya’ban diakhiri dengan tradisi padusan yang khusus untuk menyambut Ramadhan. Padusan ini biasanya dilakukan H-1 Ramadhan.
Padusan berasal dari kata dasar adus, yang artinya mandi. Dengan demikian secara sederhana padusan dapat diartikan laku atau tindakan mandi dengan maksud penyucian diri agar dapat menjalani peribadahan di bulan suci Ramadhan dalam kondisi suci. Dengan keadaan suci ini, khususnya suci lahir, diharapkan tujuan peribadahan untuk mencapai ketaqwaan akan terkondisi dengan lebih baik.
Di Padang, Sumatera Barat, misalnya, ada tradisi sambut Ramadhan yang disebut balimau, yaitu mandi ramai-ramai di sungai, danau atau pantai. Tak peduli tua-muda, laki-perempuan, anak-anak hingga kakek-nenek, berbaur jadi satu. Mandi ramai-ramai dalam suasana gembira. Biasanya, prosesi balimau ini berakhir hingga tenggelamnya mentari di ufuk barat atau menjelang azan magrib tiba.
Selain di Padang, tradisi serupa juga terdapat di Riau, terutama di Kabupaten Kampar, Bengkalis, Talukkuantan dan Pelalawan. Di masyarakat Jawa ada juga tradisi serupa walau tak sama, dan inilah yang dinamakan padusan. Bagi masyarakat Yogyakarta dan Solo, tradisi padusan ini biasanya dilakukan di sumber air di kawasan Pengging, Boyolali dan kawasan Cokro Tulung, Klaten.
Bagi para muda-mudi sekarang, nilai padusan ini telah mengalami pergeseran. Padusan yang awalnya adalah tradisi/kebiasaan yang dilakukan dengan tujuan ‘mandi besar’ agar dalam memasuki bulan Ramadhan dalam keadaan suci lahir batin kini bergeser menjadi ajang ‘rekreasi’. Bagaimana tidak, padusan ini dilakukan di tempat-tempat terbuka yang biasanya untuk rekreasi seperti kolam renang, pantai dan sumber mata air.
Hal ini tidak menjadi masalah selama masih mengindahkan nilai-nilai agama, khususnya agama Islam. Tapi masalahnya, kebanyakan pelaku padusan ini berbaur menjadi satu tidak peduli laki-laki maupun perempuan. Padahal, tujuan dari padusan ini adalah untuk pembersihan jiwa dan raga. Kalau bercampur tak karuan seperti ini, apakah bisa dikatakan sebagai pembersihan jiwa raga? Bukankah hal ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya? Satu hal yang semestinya dikedepankan dan diluruskan adalah hakikat dan tujuan dari padusan itu sendiri agar jangan sampai luntur, atau bahkan berganti dengan kepentingan nafsu syahwat manusia untuk saling mempertontonkan aurat secara massal.
Lebih menyedihkan lagi, beberapa mengaku tidak tahu menahu sebenarnya padusan ini untuk apa. Sebut saja si X, dia mengaku selalu mengikuti padusan sehari sebelum Ramadhan. Yang dia tahu padusan ini adalah kebiasaan yang wajib dilakukan sebelum puasa Ramadhan. Dia juga bilang, pernah dengar kalau tidak padusan maka puasanya tidak sah. Tapi pada dasarnya dia mengikuti padusan hanya ikut-ikutan teman saja.
Tidak hanya itu saja. momen padusan ini biasanya dikomersialkan untuk menggairahkan kantong-kantong pariwisata perairan semacam pantai, mata air, juga kolam renang. Apalagi, masyarakat juga menyambutnya dengan antusias. Parahnya, bahkan ada yang menyediakan panggung dangdut dan hiburan lainnya untuk meramaikan padusan ini.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat itu seharusnya membuka mata kita. Padusan yang belum jelas landasan hukumya dalam agama Islam sudah menjadi tradisi. Sementara beberapa amalan yang oleh ajaran Islam dianjurkan untuk dilaksanakan sebelum menjalankan ibadah puasa justru ditinggalkan. Seperti niat dan saling memaafkan sebelum menjalankan ibadah puasa.
Kalau memang ingin padusan silakan lakukan di kamar mandi masing-masing atau di kolam tertutup yang khusus untuk laki-laki saja atau perempuan saja. Itu lebih baik dan akan lebih menjaga.
Sekarang kembali pada diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk salah satu pelaku padusan di tempat umum terbuka yang lebih banyak mudaratnya tersebut???
(dari berbagai sumber)

Tradisi Jawa di Bulan Sya’ban

Bagi masyarakat Jawa, bulan Sya’ban ini dinamakan dengan bulan Ruwah. Para tokoh mengatakan bahwa kata ruwah berasal dari kata ngluru dan arwah. Pada bulan ini di beberapa daerah Jawa, terutama di pedesaan sering kali kita menjumpai orang-orang berbondong-bondong mengadakan ‘ritual islam’ dan berziarah ke makam keluarga atau tokoh yang dianggap berpengaruh di masyarakat setempat. Acara ini di beberapa daerah sering disebut dengan Nyadran atau Ruwahan.
Saking pentingnya kegiatan ini, beberapa perantau asal Jawa biasanya memposisikan waktu Nyadran ini di posisi tertinggi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Beberapa akan memilih mudik pada waktu ini daripada waktu lebaran. Didukung saat lebaran semua harga naik dan juga mudik lebaran juga berarti masa perjuangan penuh resiko, seperti transportasi yang semakin mahal, jalanan macet dan seterusnya.
Tradisi Nyadran ini antara satu tempat dengan yang lainnya berbeda-beda cara penyelenggaraannya. Yang jelas dan umumnya warga setempat dari anak-anak hingga sesepuh pada hari H akan berbondong menuju tempat khusus atau tanah lapang dekat makam. Tiap keluarga biasanya membawa makanan yang akan dinikmati bersama warga lainnya. Setelah dirasa warga sudah berkumpul, acara dilanjutkan dengan doa bersama (beberapa daerah menyebutnya tahlilan). Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar. Baru setelah itu warga bersama-sama nyekar atau ziarah ke makam keluarga . Tentu saja, sebelum hari H warga akan bergotong royong membersihkan makam.
Sampai saat ini, tradisi ini masih banyak yang mempertahankan. Kata para sesepuh , tradisi ini sudah turun temurun dari nenek moyang dan ini merupakan suatu bentuk penghormatan serta waktu yang tepat untuk mendoakan anggota keluarga yang sudah meninggal.
Pada umumnya keislaman masyarakat Jawa masih berupa Islam ‘pelangi’, warna warni dan campur aduk tak karuan. Dalam satu hal mereka mengaku sebagai muslim tetapi di sisi lain masih melakukan praktik peninggalan Majapahit yang bercorak Hindu. Dengan menilik sejarah munculnya Sadranan atau Nyadran atau Ruwahan itu, bahwa sebenarnya ritual ini bukanlah ritual Islam. Islam hanyalah menumpang dalam bentuk do’a. Konon perubahan do’a inilah hasil dari dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijogo, agar masyarakat Jawa tertarik kepada Islam. Tentunya dengan perubahan do’a memang mengubah, dari berdo’a kepada selain Allah menjadi berdo’a kepada Allah. Namun perubahan do’a tidaklah mengubah substansi ritual. Ritual ini tidak diajarkan oleh Islam. Memang, ziarahnya adalah sebuah sunnah Rosul, tapi ritual tetek bengek itu bukanlah ritual Islam. Karena itulah di beberapa wilayah, tradisi ini sudah diperbaiki sedemikian rupa. Acara makan-makan sudah ditiadakan, dan do’a bersama sudah tidak dilakukan lagi. Yang dilakukan saat ini tinggal ziarah. Dalam kegiatan itu yang dilakukan adalah membersihkan makam, dan mendo’akan jenazah keluarga yang dimakamkan di sana. Tidak membawa makanan tertentu, juga tidak ada acara makan-makan apa-apa.
Dalam tradisi ini, sering disebut juga tradisi ziarah kubur. Hal ini mungkin perlu diluruskan. Mengkhususkan waktu-waktu tertentu dalam melakukan ziarah kubur seperti pada bulan Sya’ban atau Ruwah ataupun pada hari raya Idul Fitri. Atau dengan kata lain menjadikan kuburan sebagai ied (perayaan) dan tempat berkumpul untuk menyelenggarakan acara ibadah di sana, sama sekali bukan tuntunan Islam. Dari Ali bin Abi Thalib ra. Berkata, bahwa Rosulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai arena perayaan dan jangan (pula) kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan (yang bebas dari kegiatan ibadah); bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawatmu akan sampai kepadaku.” (HR al-Bazzar, dengan sanad jayyid).
Yang juga bukan sunnah Rosulullah adalah melakukan ziarah secara berama-ramai. Jika pada asalnya dengan ziarah ini diharapkan akan mengingatkan kepada kematian, dengan dilakukan secara beramai-ramai maka akan hilanglah nilai tersebut. Kita dengar ceritanya, anak-anak asyik bermain-main. Orang-orang dewasa, setelah usai membersihkan makam, asyik bercerita ke sana ke mari (menggosip). Lalu di manakah atsar dari mengingat kematian???
//eyna right// (dari berbagai sumber)