Sabtu, 04 Desember 2010

Muhasabah, Tidak Harus Akhir Tahun

Muhasabah atau introspeksi diri sudah menjadi kebiasaan yang membudaya pada banyak orang di setiap pergantian tahun. Begitu juga dengan berakhirnya tahun 1431 hijriah ini. Banyak orang yang beranggapan bahwa akhir tahun adalah suasana yang paling cocok dan paling mendukung untuk bermuhasabah. Tapi banyak juga diantara kita yang mengabaikan hal ini. Hal yang sepele tapi sangat besar sekali pengaruhnya dalam diri kita.
Muhasabah berasal dari bahasa Arab yang artinya menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikkan dengan menilai diri sendiri. Dalam melakukan muhasabah, seorang muslim menilai dirinya, apakah dirinya lebih banyak berbuat baik (beribadah) ataukah malah lebih banyak berbuat jahat (bermaksiat) dalam kehidupan sehari-hari.
Allah SWT berfirman :” Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan“. (QS. A-Hasyr (59) : 18).
Sayyidina Umar r.a. mengatakan : ”Hisaplah diri kalian sebelum kalian dihisap. Timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Karena sesungguhnya hisapan hari ini lebih baik dari hari esok (kiamat)”.
Dengan begitu, muhasabah sangat penting dalam kehidupan kita ini. Akan sangat lebih baik kita bermuhasabah tidak hanya di akhir tahun saja. Idealnya kita melakukan muhasabah tiap hari. Menjelang tidur, kita mengevaluasi diri kita, apakah kita hari ini sudah melakukan banyak kebajikan atau kejahatan? Seberapa banyak kejahatan yang kita lakukan? Seberapa banyak kebaikan yang kita perbuat? Dan bukan sebagaimana anggapan orang pada saat ini yang mengatakan bahwa waktu yang paling tepat untuk mengintrospeksi perbuatan yang telah kita kerjakan hanya di akhir tahun atau pada saat adanya bencana. Seperti yang dikatakan sahabat Rasulullah, Umar r.a. bahwa hendaknya kita menghisab atau bermuhasabah sekarang dan memperbaiki amalan kita sebelum kita dihisab di hari akhir.

Oleh-Oleh Berharga Dari Tanah Suci

‘Musim’ haji hampir berlalu. Sebagian besar jamaah haji dari Indonesia pun juga sudah tiba di tanah air. Para keluarga, teman, tetangga dan juga kerabat pun berbondong-bondong untuk menyambut kedatangan bapak/ibu haji yang baru saja tiba di Indonesia. Biasanya, kalau kita berkunjung ke rumah orang yang baru saja pulang dari haji, kita akan dapat mencicipi air zam-zam dan beberapa makanan khas dari Mekah. Pulangnya pun kita tidak pulang dengan tangan kosong. Biasanya kita akan membawa pula buah tangan yang berupa tasbih, permadani, peci, jilbab atau pernak-pernik haji lainnya.
Itulah oleh-oleh yang akan kita dapat dari orang yang baru saja naik haji. Tapi, masih ada lagi oleh-oleh yang jauh lebih berharga dari buah tangan tersebut. Yaitu sebuah cerita dan tindakan. Sangat sederhana dan tidak membutuhkan biaya, tapi akan sangat bermanfaat bagi orang lain.
Sering kali kita mendengarkan cerita tentang pengalaman orang yang baru saja pulang berhaji. Mereka juga akan menceritakan tentang bagaimana perjuangan para nabi dan para sahabat dalam memperjuangkan Islam, dalam berjihad fi sabilillah sehingga semuanya berusaha untuk mengikuti sepak terjang para anbiya, para syuhada dan orang-orang shalih tersebut. Juga menceritakan kisah perjuangan dan memberikan motivasi berjuang inilah yang merupakan oleh-oleh berharga dari tanah suci, bukan buah tangan tasbih, serban atau permadani. Memang sebuah cerita, tapi bukan sekedar cerita biasa.
Selain itu, orang yang sudah berhaji hendaknya memberikan oleh-oleh yang bermanfaat bagi masyarakat yaitu dengan sebuah contoh perbuatan. Tentu saja perbuatan atau akhlak baik, bukan maksiat. Pribadi haji yang mabrur adalah pribadi yang dapat menjadi contoh bagi masyarakat dalam melaksanakan ajaran agama, dalam beribadah, dalam shalat berjamaah, dalam memakmurkan masjid dengan berzikir, bertasbih, membaca al-quran , menghadiri pengajian dan lain sebagainya. Oleh-oleh haji seperti inilah yang selalu diharapkan oleh masyarakat. Bayangkan jika seandainya para jamaah haji dapat menjadi pioneer, pelopor dan penggerak shalat jamaah saja baik di tengah masyarakat maupun di kantor-kantor dan di tengah pusat perbelanjaan, insya Allah suasana syiar Islam akan lebih indah.

Pemuda Harus Berani Bangkit

Pemuda adalah suatu generasi yang dipundaknya penuh dengan beban harapan dan sebagai ujung tombak suatu negara. Dikatakan ujung tombak disini karena pemuda inilah yang akan berada di barisan depan maju tidaknya suatu negara. Pemuda inilah tumpuan harapan bangsa. Tak akan maju suatu negara apabila pemuda nya mengalami keterbelakangan, baik keterbelakangan pola pikir ataupun moral.
Indonesia sekarang ini bisa dikatakan dengan ‘krisis’ pemuda. Krisis bukan karena kekurangan pemuda. Bahkan Indonesia memiliki berjuta-juta pemuda siap tempur. Tapi yang perlu ditanyakan, sudah benar-benar siap tempur kah para pemuda tumpuan harapan bangsa ini. Pertempuran menghadapi kemajuan teknologi yang sangat pesat saat ini tentu membutuhkan perjuangan yang berat. Perjuangan tersebut harus dimulai dari diri sendiri. Diantaranya adalah perjuangan melawan malas. Jika berhasil melawan penyakit malas ini, pribadi akan mulai terarah pada kedisiplinan.
Mengapa harus kedisiplinan? Kedisiplinan disini adalah awal dari segalanya. Segalanya yang dapat mengubah dunia. Kalau kita perhatikan, negara-negara maju mengawali kesuksesan mereka dengan melatih SDM nya dengan kedisiplinan. Yang menjadi penyakit sebagian besar pemuda Indonesia adalah kurangnya kedisiplinan dengan alasan malas. Ternyata tidak hanya di kalangan pemuda saja, tapi sudah mendarah daging pada orang tua. Jam karet pun masih dipertahankan sampai saat ini. Contoh konkrit dan sering dijumpai dari kasus ini adalah sering mundurnya suatu acara dikarenakan orang-orang yang harusnya sudah hadir tiga puluh menit yang lalu belum menampakkan batang hidungnya. Tentu setiap orang punya alasan tersendiri mengapa dia terlambat dan berpikiran ‘tidak jadi masalah aku terlambat, toh yang lain pasti juga belum datang’. Padahal hampir semua orang akan berpikiran yang sama.
Tidakkah malu pada Allah. Demi waktu, demi waktu duha, demi malam, bukankah itu sebuah bukti Allah telah mengingatkan manusia betapa pentingnya waktu. Waktu yang dapat membunuh setiap saat jika menyia-nyiakannya.
Kedisiplinan tentu tidak hanya urusan waktu, tapi juga proses perbaikan diri. Apabila para pemuda bangkit dari keperpurukan ini, bukan hal yang tidak mungkin negeri ini akan jauh lebih maju dari sekarang. So, beranikah menerima tantangan ini dan ikut serta menorehkan tinta sejarah kebangkitan pemuda Indonesia?

Malu Dalam Diri Wanita

Rasulullah SAW bersabda, ”Iman terdiri dari tujuh puluh cabang lebih, dan rasa malu adalah satu bagian dari iman” (HR. Muslim)
Allah menfitrahkan wanita itu malu dan tertutup. Berkurangnya rasa malu pada banyak wanita terjadi ketika setan menggodanya sehingga menjauhkan wanita dari rasa malu dan menyeretnya kepada kebatilan. Tradisi dan langkah setan sejak Adam dan Hawa adalah melepaskan pakaian atau telanjang. Karena telanjang adalah cangkul yang paling kuat untuk merusak umat dan bangsa serta menghancurkan akhlak, juga agama dalam jiwa manusia. Tentu saja, setan berkonsentrasi pada wanita untuk menerapkan langkahnya dalam menanggalkan pakaian.
Wanita adalah fitnah yang paling berbahaya bagi laki-laki, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada kaum perempuan,” (HR. Bukhari).
Nabi SAW juga pernah bersabda: “Dua kelompok termasuk penghuni Neraka, Aku (sendiri) belum pernah melihat mereka, yaitu seperti orang yg membawa cemeti seperti ekor sapi, dengannya mereka mencambuki manusia dan para wanita yg berpakaian (tetapi ) telanjang, bergoyang berlenggak lenggok, kepala mereka (ada suatu) seperti punuk unta yg bergoyang goyang. Mereka tentu tidak akan masuk Surga, bahkan tidak mendapat baunya. Dan sesungguhnya bau Surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian."(HR. Muslim, hadits no. 2128).
Setan-setan dari golongan jin dan manusia mengajak wanita untuk membebaskan diri dari rasa malu. Menurut mereka, rasa malu adalah batu sandungan bagi kemajuan dan kebebasan wanita. Katanya sih, pakaian dianggap kuno dan ketinggalan zaman jika pakaian wanita tersebut ‘tidak terbuka’. Semakin terbuka pakaian seorang wanita maka akan semakin dianggap high level dan modern. Maka dari itu, beberapa wanita zaman sekarang berlomba mempertontonkan aurat mereka. Seakan-akan mereka sudah tidak punya rasa malu lagi.
Seandainya ditakdirkan malu itu ada di dalam benda mati, maka rasa malu itu menjadikannya indah. Maka, bagaimana dengan manusia dan bagaimana dengan wanita yang menghasratkan keindahan dan perhiasan?

Bangkit Dari Keterpurukan

Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidupnya. Inilah dinamika kehidupan. Bisa dibilang, kalau tidak ada masalah maka hidup pun menjadi tidak berwarna. Secara teori, hidup ini seperti roda yang berputar. Kadang di atas tapi ada kalanya juga di bawah. Tentu saja hidup tak akan berjalan kalau saja roda kehidupan tidak berputar dan yang diatas senantiasa diatas begitu pula sebaliknya.
Terkadang kita merasa sangat berat menghadapi masalah dalam hidup kita. Rasanya kita lah yang paling menderita dan menganggap hidup ini tidak adil. Di tengah-tengah keterpurukan tersebut membuat kita tidak produktif lagi. Seakan tidak ada lagi space untuk memikirkan yang lainnya selain masalah kita. Kalau seperti ini siapa yang tidak adil? Hidup ataukah diri kita sendiri?
Seperti kita tahu, hampir setiap hari tersiar berita kasus bunuh diri. Banyak yang sengaja loncat dari lantai lima gedung bertingkat, meminum obat nyamuk dan gantung diri. Sehingga tidak ada hasil lainnya selain mati. Yap, banyak orang yang tidak kuat menghadapi pertarungan hidup ini dan mereka memilih untuk mengakhiri hidup mereka. Padahal dengan jalan bunuh diri belum tentu masalah selesai. Ya kalau mati, kalau enggak? Yang ada malah menambah beban hidup karena harus memikirkan juga bagaimana caranya membayar biaya rumah sakit akibat ‘gagal bunuh diri’. Kalaupun mati, belum tentu di dalam kubur akan tenang. Yang pasti siksa kubur bertambah berat karena insiden bunuh diri. Bukankah bunuh diri justru menambah masalah bukannya menyelesaikan masalah? Nah, siapa yang mau mencoba?
Setiap perjalanan hidup yang diberikan Allah pada kita pasti ada hikmah dibaliknya. Selain itu, masalah dan cobaan bisa menjadi lahan pembelajaran dalam hidup. Dan tidak ada pilihan lagi selain bangkit dari keterpurukan.
Adanya masalah dan cobaan bagi setiap orang ini bisa dijadikan salah satu barometer kualitas seseorang. Sejauh mana ia bisa berusaha dan bersabar dalam menghadapi dan menyelesaikannya. Tingkat kualitas ini, juga menggambarkan tentang keimanan seseorang.
Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya mengandung kebaikan. Dan, hal itu tidak akan dimiliki kecuali oleh orang yang beriman.(Yaitu), jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Hal itu merupakan suatu kebaikan. Dan, jika tertimpa kesusahan, ia bersabar. Itu juga merupakan kebaikan.”” (HR Muslim).
Bersabar adalah kunci utama dalam menghadapi masalah hidup ini. Sebenarnya tidak perlu banyak membuang energi memikirkan masalah yang kita hadapi. Yang penting justru bagaimana solusi terbaik untuk keluar dari masalah itu. Itulah jawaban untuk keluar dari keterpurukan.