Sabtu, 04 Desember 2010

Muhasabah, Tidak Harus Akhir Tahun

Muhasabah atau introspeksi diri sudah menjadi kebiasaan yang membudaya pada banyak orang di setiap pergantian tahun. Begitu juga dengan berakhirnya tahun 1431 hijriah ini. Banyak orang yang beranggapan bahwa akhir tahun adalah suasana yang paling cocok dan paling mendukung untuk bermuhasabah. Tapi banyak juga diantara kita yang mengabaikan hal ini. Hal yang sepele tapi sangat besar sekali pengaruhnya dalam diri kita.
Muhasabah berasal dari bahasa Arab yang artinya menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikkan dengan menilai diri sendiri. Dalam melakukan muhasabah, seorang muslim menilai dirinya, apakah dirinya lebih banyak berbuat baik (beribadah) ataukah malah lebih banyak berbuat jahat (bermaksiat) dalam kehidupan sehari-hari.
Allah SWT berfirman :” Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan“. (QS. A-Hasyr (59) : 18).
Sayyidina Umar r.a. mengatakan : ”Hisaplah diri kalian sebelum kalian dihisap. Timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Karena sesungguhnya hisapan hari ini lebih baik dari hari esok (kiamat)”.
Dengan begitu, muhasabah sangat penting dalam kehidupan kita ini. Akan sangat lebih baik kita bermuhasabah tidak hanya di akhir tahun saja. Idealnya kita melakukan muhasabah tiap hari. Menjelang tidur, kita mengevaluasi diri kita, apakah kita hari ini sudah melakukan banyak kebajikan atau kejahatan? Seberapa banyak kejahatan yang kita lakukan? Seberapa banyak kebaikan yang kita perbuat? Dan bukan sebagaimana anggapan orang pada saat ini yang mengatakan bahwa waktu yang paling tepat untuk mengintrospeksi perbuatan yang telah kita kerjakan hanya di akhir tahun atau pada saat adanya bencana. Seperti yang dikatakan sahabat Rasulullah, Umar r.a. bahwa hendaknya kita menghisab atau bermuhasabah sekarang dan memperbaiki amalan kita sebelum kita dihisab di hari akhir.

Oleh-Oleh Berharga Dari Tanah Suci

‘Musim’ haji hampir berlalu. Sebagian besar jamaah haji dari Indonesia pun juga sudah tiba di tanah air. Para keluarga, teman, tetangga dan juga kerabat pun berbondong-bondong untuk menyambut kedatangan bapak/ibu haji yang baru saja tiba di Indonesia. Biasanya, kalau kita berkunjung ke rumah orang yang baru saja pulang dari haji, kita akan dapat mencicipi air zam-zam dan beberapa makanan khas dari Mekah. Pulangnya pun kita tidak pulang dengan tangan kosong. Biasanya kita akan membawa pula buah tangan yang berupa tasbih, permadani, peci, jilbab atau pernak-pernik haji lainnya.
Itulah oleh-oleh yang akan kita dapat dari orang yang baru saja naik haji. Tapi, masih ada lagi oleh-oleh yang jauh lebih berharga dari buah tangan tersebut. Yaitu sebuah cerita dan tindakan. Sangat sederhana dan tidak membutuhkan biaya, tapi akan sangat bermanfaat bagi orang lain.
Sering kali kita mendengarkan cerita tentang pengalaman orang yang baru saja pulang berhaji. Mereka juga akan menceritakan tentang bagaimana perjuangan para nabi dan para sahabat dalam memperjuangkan Islam, dalam berjihad fi sabilillah sehingga semuanya berusaha untuk mengikuti sepak terjang para anbiya, para syuhada dan orang-orang shalih tersebut. Juga menceritakan kisah perjuangan dan memberikan motivasi berjuang inilah yang merupakan oleh-oleh berharga dari tanah suci, bukan buah tangan tasbih, serban atau permadani. Memang sebuah cerita, tapi bukan sekedar cerita biasa.
Selain itu, orang yang sudah berhaji hendaknya memberikan oleh-oleh yang bermanfaat bagi masyarakat yaitu dengan sebuah contoh perbuatan. Tentu saja perbuatan atau akhlak baik, bukan maksiat. Pribadi haji yang mabrur adalah pribadi yang dapat menjadi contoh bagi masyarakat dalam melaksanakan ajaran agama, dalam beribadah, dalam shalat berjamaah, dalam memakmurkan masjid dengan berzikir, bertasbih, membaca al-quran , menghadiri pengajian dan lain sebagainya. Oleh-oleh haji seperti inilah yang selalu diharapkan oleh masyarakat. Bayangkan jika seandainya para jamaah haji dapat menjadi pioneer, pelopor dan penggerak shalat jamaah saja baik di tengah masyarakat maupun di kantor-kantor dan di tengah pusat perbelanjaan, insya Allah suasana syiar Islam akan lebih indah.

Pemuda Harus Berani Bangkit

Pemuda adalah suatu generasi yang dipundaknya penuh dengan beban harapan dan sebagai ujung tombak suatu negara. Dikatakan ujung tombak disini karena pemuda inilah yang akan berada di barisan depan maju tidaknya suatu negara. Pemuda inilah tumpuan harapan bangsa. Tak akan maju suatu negara apabila pemuda nya mengalami keterbelakangan, baik keterbelakangan pola pikir ataupun moral.
Indonesia sekarang ini bisa dikatakan dengan ‘krisis’ pemuda. Krisis bukan karena kekurangan pemuda. Bahkan Indonesia memiliki berjuta-juta pemuda siap tempur. Tapi yang perlu ditanyakan, sudah benar-benar siap tempur kah para pemuda tumpuan harapan bangsa ini. Pertempuran menghadapi kemajuan teknologi yang sangat pesat saat ini tentu membutuhkan perjuangan yang berat. Perjuangan tersebut harus dimulai dari diri sendiri. Diantaranya adalah perjuangan melawan malas. Jika berhasil melawan penyakit malas ini, pribadi akan mulai terarah pada kedisiplinan.
Mengapa harus kedisiplinan? Kedisiplinan disini adalah awal dari segalanya. Segalanya yang dapat mengubah dunia. Kalau kita perhatikan, negara-negara maju mengawali kesuksesan mereka dengan melatih SDM nya dengan kedisiplinan. Yang menjadi penyakit sebagian besar pemuda Indonesia adalah kurangnya kedisiplinan dengan alasan malas. Ternyata tidak hanya di kalangan pemuda saja, tapi sudah mendarah daging pada orang tua. Jam karet pun masih dipertahankan sampai saat ini. Contoh konkrit dan sering dijumpai dari kasus ini adalah sering mundurnya suatu acara dikarenakan orang-orang yang harusnya sudah hadir tiga puluh menit yang lalu belum menampakkan batang hidungnya. Tentu setiap orang punya alasan tersendiri mengapa dia terlambat dan berpikiran ‘tidak jadi masalah aku terlambat, toh yang lain pasti juga belum datang’. Padahal hampir semua orang akan berpikiran yang sama.
Tidakkah malu pada Allah. Demi waktu, demi waktu duha, demi malam, bukankah itu sebuah bukti Allah telah mengingatkan manusia betapa pentingnya waktu. Waktu yang dapat membunuh setiap saat jika menyia-nyiakannya.
Kedisiplinan tentu tidak hanya urusan waktu, tapi juga proses perbaikan diri. Apabila para pemuda bangkit dari keperpurukan ini, bukan hal yang tidak mungkin negeri ini akan jauh lebih maju dari sekarang. So, beranikah menerima tantangan ini dan ikut serta menorehkan tinta sejarah kebangkitan pemuda Indonesia?

Malu Dalam Diri Wanita

Rasulullah SAW bersabda, ”Iman terdiri dari tujuh puluh cabang lebih, dan rasa malu adalah satu bagian dari iman” (HR. Muslim)
Allah menfitrahkan wanita itu malu dan tertutup. Berkurangnya rasa malu pada banyak wanita terjadi ketika setan menggodanya sehingga menjauhkan wanita dari rasa malu dan menyeretnya kepada kebatilan. Tradisi dan langkah setan sejak Adam dan Hawa adalah melepaskan pakaian atau telanjang. Karena telanjang adalah cangkul yang paling kuat untuk merusak umat dan bangsa serta menghancurkan akhlak, juga agama dalam jiwa manusia. Tentu saja, setan berkonsentrasi pada wanita untuk menerapkan langkahnya dalam menanggalkan pakaian.
Wanita adalah fitnah yang paling berbahaya bagi laki-laki, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada kaum perempuan,” (HR. Bukhari).
Nabi SAW juga pernah bersabda: “Dua kelompok termasuk penghuni Neraka, Aku (sendiri) belum pernah melihat mereka, yaitu seperti orang yg membawa cemeti seperti ekor sapi, dengannya mereka mencambuki manusia dan para wanita yg berpakaian (tetapi ) telanjang, bergoyang berlenggak lenggok, kepala mereka (ada suatu) seperti punuk unta yg bergoyang goyang. Mereka tentu tidak akan masuk Surga, bahkan tidak mendapat baunya. Dan sesungguhnya bau Surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian."(HR. Muslim, hadits no. 2128).
Setan-setan dari golongan jin dan manusia mengajak wanita untuk membebaskan diri dari rasa malu. Menurut mereka, rasa malu adalah batu sandungan bagi kemajuan dan kebebasan wanita. Katanya sih, pakaian dianggap kuno dan ketinggalan zaman jika pakaian wanita tersebut ‘tidak terbuka’. Semakin terbuka pakaian seorang wanita maka akan semakin dianggap high level dan modern. Maka dari itu, beberapa wanita zaman sekarang berlomba mempertontonkan aurat mereka. Seakan-akan mereka sudah tidak punya rasa malu lagi.
Seandainya ditakdirkan malu itu ada di dalam benda mati, maka rasa malu itu menjadikannya indah. Maka, bagaimana dengan manusia dan bagaimana dengan wanita yang menghasratkan keindahan dan perhiasan?

Bangkit Dari Keterpurukan

Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidupnya. Inilah dinamika kehidupan. Bisa dibilang, kalau tidak ada masalah maka hidup pun menjadi tidak berwarna. Secara teori, hidup ini seperti roda yang berputar. Kadang di atas tapi ada kalanya juga di bawah. Tentu saja hidup tak akan berjalan kalau saja roda kehidupan tidak berputar dan yang diatas senantiasa diatas begitu pula sebaliknya.
Terkadang kita merasa sangat berat menghadapi masalah dalam hidup kita. Rasanya kita lah yang paling menderita dan menganggap hidup ini tidak adil. Di tengah-tengah keterpurukan tersebut membuat kita tidak produktif lagi. Seakan tidak ada lagi space untuk memikirkan yang lainnya selain masalah kita. Kalau seperti ini siapa yang tidak adil? Hidup ataukah diri kita sendiri?
Seperti kita tahu, hampir setiap hari tersiar berita kasus bunuh diri. Banyak yang sengaja loncat dari lantai lima gedung bertingkat, meminum obat nyamuk dan gantung diri. Sehingga tidak ada hasil lainnya selain mati. Yap, banyak orang yang tidak kuat menghadapi pertarungan hidup ini dan mereka memilih untuk mengakhiri hidup mereka. Padahal dengan jalan bunuh diri belum tentu masalah selesai. Ya kalau mati, kalau enggak? Yang ada malah menambah beban hidup karena harus memikirkan juga bagaimana caranya membayar biaya rumah sakit akibat ‘gagal bunuh diri’. Kalaupun mati, belum tentu di dalam kubur akan tenang. Yang pasti siksa kubur bertambah berat karena insiden bunuh diri. Bukankah bunuh diri justru menambah masalah bukannya menyelesaikan masalah? Nah, siapa yang mau mencoba?
Setiap perjalanan hidup yang diberikan Allah pada kita pasti ada hikmah dibaliknya. Selain itu, masalah dan cobaan bisa menjadi lahan pembelajaran dalam hidup. Dan tidak ada pilihan lagi selain bangkit dari keterpurukan.
Adanya masalah dan cobaan bagi setiap orang ini bisa dijadikan salah satu barometer kualitas seseorang. Sejauh mana ia bisa berusaha dan bersabar dalam menghadapi dan menyelesaikannya. Tingkat kualitas ini, juga menggambarkan tentang keimanan seseorang.
Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya mengandung kebaikan. Dan, hal itu tidak akan dimiliki kecuali oleh orang yang beriman.(Yaitu), jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Hal itu merupakan suatu kebaikan. Dan, jika tertimpa kesusahan, ia bersabar. Itu juga merupakan kebaikan.”” (HR Muslim).
Bersabar adalah kunci utama dalam menghadapi masalah hidup ini. Sebenarnya tidak perlu banyak membuang energi memikirkan masalah yang kita hadapi. Yang penting justru bagaimana solusi terbaik untuk keluar dari masalah itu. Itulah jawaban untuk keluar dari keterpurukan.

Jumat, 03 Desember 2010

Jadi Pengusaha Sukses, Siapa Takut...?

Pengusaha sukses dunia akhirat, mungkin itulah yang menjadi cita-cita sebagian besar mahasiswa Indonesia saat ini. Pengusaha atau istilah kerennya entrepreneur adalah pilihan profesi yang ‘katanya’ cukup menjanjikan mengingat jumlah pelamar pekerjaan di sejumlah instansi semakin meningkat dan tingkat pengangguran pun juga tak berkurang.
Tak sedikit yang ingin berwirausaha tapi hanya sebatas rencana. Yang jadi masalah dalam diri calon pengusaha ini adalah masalah modal. Yap, modal ide dan juga dana. Jawaban dari permasalahan ini hanya satu, yaitu diri sendiri. Abdurrahman bin ‘Auf, saudagar kaya yang juga sahabat Rasul ini memulai usahanya dengan bermodalkan diri sendiri. Yaitu, datang ke Madinah bermodal dengkul, ber-usaha di sana dan akhirnya mendominasi pasar mengalahkan para pengusaha Yahudi.
Prinsip yang dipegang Abdurrahman bin ‘Auf adalah mandiri. Di saat beliau mendapat tawaran yang cukup keren dari Sa’ad bin Rabi’ untuk memilih dan mengambil separoh hartanya, beliau menolak dan “hanya” butuh info tentang letak pasar. Sa’ad bin Rabi’ adalah penduduk Madinah yang kaya raya tapi tidak pelit seperti sebagian besar orang kaya. Dari kisah tersebut, dapat kita ambil pelajaran bahwa dalam memulai usahanya, Abdurrahman tidak minta back-ingan saudaranya. Mandiri bukan?
Lalu bagaimana dengan kita saat ini? Kalau kita mau jujur pada diri kita sendiri tentunya kita begitu jauh dengan beliau, laksana bumi dan langit mungkin. Abdurrahman bin ‘Auf seorang pembisnis muslim yang luar biasa, sedangkan kita lebih tepatnya belajar bisnis juga belum jalan-jalan yang ada rencana terus tanpa gerak yang nyata.
Informasi memang begitu penting, lihat lagi kisah Abdurrahman bin ‘Auf. Beliau hanya bermodalkan informasi dari Sa’ad dan bisa menjadi pengusaha sukses. Yang menjadikan bisnis beliau sukses dan berkah adalah karena beliau sangat memperhatikan kehalalan bisnisnya. Beliau semakin sukses dan berkah karena harta yang diperolehnya bukan untuk simpanan pribadi melainkan untuk kepentingan di jalan Allah.
Nah, kemandirian dalam berbisnis atau berwirausaha seperti yang dicontohkan Abdurrahman bin ‘Auf tidak selamanya berujung dengan sebuah kegagalan. Ingat, kegagalan adalah jalan menuju kesuksesan. Kalau sekali gagal kemudian kita berpaling dari tujuan kita, tentu saja kita tidak akan menemukan titik tujuan kita, yaitu sukses. Kalau kita mau berusaha tidak menutup kemungkinan pengusaha sukses dunia akhirat tidak hanya sebatas isapan jempol belaka. Sekali lagi, lihatlah Abdurrahman bin ‘Auf. Sukses dunia akhirat bukan?
Lalu, siapa lagi nih, yang bakal jadi the next pengusaha mandiri sukses dunia akhirat? Kita kah? Siapa takut….

Sabtu, 28 Agustus 2010

Abdurrahman bin ‘Auf

"Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya kamu termasuk kaum yang kaya raya, dan kamu akan masuk surga dengan merangkak. Oleh karena itu, pinjamkanlah suatu pinjaman kepada Allah sehingga Allah membebaskan kedua telapak kakimu." (HR. al-Hakim, 3/ 311 dan al-Hilyah, 1/ 99)
Sosok Abdurrahman bin ‘Auf memang menjadi ikon tersendiri tentang kekayaan jaman sahabat. Dan kekayaan beliau bukan isapan jempol belaka. Pernah suatu ketika iring-iringan barang dagangnya yang mencapai 700 unta menggegerkan warga Madinah. Tidak hanya itu, masih banyak lagi aset beliau, bisa dikatakan konglomerat jaman ini pun tak bisa menyainginya. Bahkan Utsman bin Affan r.a. yang terbilang kaya pun ikut mengambil bagian dari wasiat menjelang wafatnya Abdurrahman bin ‘Auf , serta katanya:"Harta Abdurrahman bin 'Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa selamat dan berkat".
Berikut ini adalah jumlah infak Abdurrahman bin ‘Auf yang terdokumentasikan semasa beliau masih hidup.
1)Sedekah pertama 4.000 dinar (Rp 4,250,000,000)
2) Sedekah kedua 40.000 dinar (Rp 42,500,000,000 )
3) Sedekah ketiga 40.000 dinar (Rp 42,500,000,000)
4) Unta fisabilillah sebanyak 1.000 ekor (Rp 10,000,000,000 )
5) Tanah untuk Istri2 Rasulullah 40.000 dinar (42,500,000,000 )
Sehingga total perkiraan Infak beliau saat masih hidup Rp 141,750,000,000
Itu belum termasuk wasiat beliau setelah wafat. Kalau dihitung jumlah keseluruhannya aset minimal adalah Rp 599,675,000,000 ( Rp 600 Milyar ).
Sedang harta warisan beliau adalah Rp 2,72 Trilyun. Jadi kalau kita perkirakan bahwa harta beliau berkisar minimal antara Rp 600 Milyar plus Rp 2,7 Trilyun, itu belum termasuk bongkahan emasnya!
Yap, itulah Abdurrahman bin ‘Auf, Sang konglomerat yang dermawan. Yang menjadikan bisnis beliau sukses dan berkah adalah karena beliau sangat memperhatikan kehalalan bisnisnya. Beliau semakin sukses dan berkah karena harta yang diperolehnya bukan untuk simpanan pribadi melainkan untuk kepentingan di jalan Allah. Jika kesuksesan dihitung dari jumlah simpanan dan keuntungan yang diperoleh, maka kesuksesan bisnis Abdurrahman bin ‘Auf dihitung dari jumlah kekayaan yang ia dermakan untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah.
Meskipun hartanya melimpah, Abdurrahman bin ‘Auf tidak diperbudak harta. Buktinya, beliau tidak mati-matian berbisnis demi mendapatkan keuntungan yang berlipat. Beliau membangun dan mengembangkan bisnisnya dengan santai, halal dan tentu hasilnya pun tidak dinikmati sendiri, melainkan dinikmati juga oleh keluarga, teman dan masyarakat. Beliau belum merasa puas apabila harta yang dimilikinya tersebut belum bisa membantu perjuangan Islam dan membantu saudara-saudaranya.
Dari dulu hingga zaman modern ini, harta kekayaan biasanya mengundang kekuasaan. Orang kaya selalu ingin mempunyai pengaruh untuk melindungi kekayaan mereka dan melipatgandakannya, sekaligus menimbulkan sifat tercela seperti sombong, sewenang-wenang serta egois. Tapi, kalau kita melihat Abdurrahman bin ‘Auf dengan kekayaannya yang melimpah, hanya dua kata yang bisa kita katakan, “Luar Biasa”.
Ketika Rasulullah SAW. membutuhkan banyak dana untuk menghadapi tentara Rum dalam perang Tabuk, Abdurrahman bin ‘Auf menjadi salah satu pelopor dalam menyumbangkan dana. Beliau menyerahkan dua ratus uqiyah emas. Melihat hal itu, Umar bin Khaththab berbisik kepada Rasulullah SAW, “Agaknya Abdurrahman berdosa, dia tidak meninggalkan uang belanja sedikit pun untuk keluarganya.”
Maka, Rasulullah pun bertanya kepada Abdurrahman, “Adakah engkau tinggalkan uang belanja untuk keluargamu?”
Abdurrahman menjawab, “Ada, ya Rasulullah. Mereka saya tinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang saya sumbangkan. Sebanyak rizki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah.”

Sumber : Khalid, Khalid Muhammad.60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW.2009.Jakarta:Al-I’tishom Cahaya Umat --- www.blog.muslim-indonesia.com --- www. indonesiaoptimis.com --- www. sinar-hidup-tokoh.blogspot.com

Nuzulul Qur’an, Adat atau Tanggung Jawab?

Sebenarnya masih ada beda pendapat tentang kapan waktu pertama kali Al-Qur’an diturunkan. Ada tiga pendapat mengenai hal ini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu ada pada bulan Rabiul Awal. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu pada bulan Rajab. Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu pada bulan Ramadhan. Tapi para ulama menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an ada pada bulan Ramadhan karena Allah SWT berfirman yang artinya : “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)” (QS. Al-Baqarah: 185)
Maka dari itu, tidak heran jika sampai sekarang kita masih melihat masyarakat yang merayakan Nuzulul Qur’an. Biasanya pada tanggal 17 Ramadhan hingga memasuki 10 hari terakhir Ramadhan. Peringatan terhadap turunnya Al Qur’an diwujudkan oleh masyarakat dalam berbagai acara, ada yang dengan mengadakan pengajian umum. Dari mereka ada yang merayakannya dengan pertunjukan pentas seni, semisal qasidah, nasyid dan lainnya. Dan tidak jarang pula yang memperingatinya dengan mengadakan pesta makan-makan.
Sehingga, biasanya dibentuk panitia khusus untuk memperingati Nuzulul Qur’an ini. Selama Ramadhan, hari H inilah yang ditunggu-tunggu. Hari demi hari mempersiapkan konsep acara dengan matang hingga ibadah pun menjadi yang nomor dua. Bagaimana tidak, panitia tidak mau mengambil resiko acara peringatan Nuzulul Qur’an yang menghabiskan dana yang tidak sedikit ini kacau. Apalagi acara peringatan ini menghadirkan ustad dan grup qasidah yang cukup ternama yang juga dihadiri tamu-tamu dari desa tetangga.
Memperingati peristiwa Nuzulul Qur’an bukanlah hal yang penting dan harus menjadi prioritas. Rasulullah tidak pernah mencontohkan pada kita bahwa kita harus memperingati Nuzulul Qur’an. Karena pada dasarnya, Al-Qur’an ini diturunkan bukan untuk diperingati, tetapi untuk memperingatkan kita. Peristiwa turunnya AL-Qur’an bukanlah suatu hari raya bagi umat Islam. Dengan begitu, tidaklah pantas kalau kita ‘mengharirayakan’ Nuzulul Qur’an.
Rasulullah memperingati turunnya Al Qur’an pada bulan Ramadhan dengan membaca Al-Qur’an penuh penghayatan akan maknanya. Tidak hanya berhenti pada mudarasah, beliau juga banyak membaca Al Qur’an pada shalat beliau, sampai-sampai pada satu raka’at saja, beliau membaca surat Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa’, atau sebanyak 5 juz lebih.
Inilah yang dilakukan Rasulullah pada bulan Ramadhan, dan demikianlah cara beliau memperingati turunnya Al Qur’an. Tidak ada pesta makan-makan, apalagi pentas seni, nyanyi-nyanyi, sandiwara atau tari menari.
Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman dalam hidup kita. Alangkah lebih baik kita belajar dan mengamalkan Al-Qur’an. Daripada memperingati Nuzulul Qur’an dengan pesta tidak jelas maknanya. Karena dengan belajar dan mengamalkan Al-Qur’an, itu sudah menjadi salah satu kontribusi kita untuk tetap melestarikan Al-Qur’an. Tentu saja itu sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita sebagai seorang muslim. Bukankah tanggung jawab lebih indah dibandingkan dengan adat?
Kita mengaku mencintai dan beriman kepada Al Qur’an, dan selanjutnya kecintaan dan keimanan itu diwujudkan dalam bentuk tarian, nyayian, pesta makan-makan. Kapankah kita dapat membuktikan kecintaan dan keimanan kepada Al Qur’an dalam bentuk tadarus, mengkaji kandungan, dan mengamalkan nilai-nilainya?

Senin, 02 Agustus 2010

Padusan, Tradisi Sambut Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang dinantikan oleh semua umat Islam. Bulan ini begitu istimewa, sehingga banyak orang yang telah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Bulan Sya’ban tentu akan menjadi bulan sibuk dalam rangka persiapan menyambut Ramadhan. Dalam rangka menyambut datangnya bulan suci, tidaklah salah jika kemudian di berbagai daerah berkembang berbagai tradisi penyambutan. Di kebanyakan dusun dan desa di wilayah Jawa sendiri, setelah tradisi ruwahan atau nyadran, rangkaian bulan Sya’ban diakhiri dengan tradisi padusan yang khusus untuk menyambut Ramadhan. Padusan ini biasanya dilakukan H-1 Ramadhan.
Padusan berasal dari kata dasar adus, yang artinya mandi. Dengan demikian secara sederhana padusan dapat diartikan laku atau tindakan mandi dengan maksud penyucian diri agar dapat menjalani peribadahan di bulan suci Ramadhan dalam kondisi suci. Dengan keadaan suci ini, khususnya suci lahir, diharapkan tujuan peribadahan untuk mencapai ketaqwaan akan terkondisi dengan lebih baik.
Di Padang, Sumatera Barat, misalnya, ada tradisi sambut Ramadhan yang disebut balimau, yaitu mandi ramai-ramai di sungai, danau atau pantai. Tak peduli tua-muda, laki-perempuan, anak-anak hingga kakek-nenek, berbaur jadi satu. Mandi ramai-ramai dalam suasana gembira. Biasanya, prosesi balimau ini berakhir hingga tenggelamnya mentari di ufuk barat atau menjelang azan magrib tiba.
Selain di Padang, tradisi serupa juga terdapat di Riau, terutama di Kabupaten Kampar, Bengkalis, Talukkuantan dan Pelalawan. Di masyarakat Jawa ada juga tradisi serupa walau tak sama, dan inilah yang dinamakan padusan. Bagi masyarakat Yogyakarta dan Solo, tradisi padusan ini biasanya dilakukan di sumber air di kawasan Pengging, Boyolali dan kawasan Cokro Tulung, Klaten.
Bagi para muda-mudi sekarang, nilai padusan ini telah mengalami pergeseran. Padusan yang awalnya adalah tradisi/kebiasaan yang dilakukan dengan tujuan ‘mandi besar’ agar dalam memasuki bulan Ramadhan dalam keadaan suci lahir batin kini bergeser menjadi ajang ‘rekreasi’. Bagaimana tidak, padusan ini dilakukan di tempat-tempat terbuka yang biasanya untuk rekreasi seperti kolam renang, pantai dan sumber mata air.
Hal ini tidak menjadi masalah selama masih mengindahkan nilai-nilai agama, khususnya agama Islam. Tapi masalahnya, kebanyakan pelaku padusan ini berbaur menjadi satu tidak peduli laki-laki maupun perempuan. Padahal, tujuan dari padusan ini adalah untuk pembersihan jiwa dan raga. Kalau bercampur tak karuan seperti ini, apakah bisa dikatakan sebagai pembersihan jiwa raga? Bukankah hal ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya? Satu hal yang semestinya dikedepankan dan diluruskan adalah hakikat dan tujuan dari padusan itu sendiri agar jangan sampai luntur, atau bahkan berganti dengan kepentingan nafsu syahwat manusia untuk saling mempertontonkan aurat secara massal.
Lebih menyedihkan lagi, beberapa mengaku tidak tahu menahu sebenarnya padusan ini untuk apa. Sebut saja si X, dia mengaku selalu mengikuti padusan sehari sebelum Ramadhan. Yang dia tahu padusan ini adalah kebiasaan yang wajib dilakukan sebelum puasa Ramadhan. Dia juga bilang, pernah dengar kalau tidak padusan maka puasanya tidak sah. Tapi pada dasarnya dia mengikuti padusan hanya ikut-ikutan teman saja.
Tidak hanya itu saja. momen padusan ini biasanya dikomersialkan untuk menggairahkan kantong-kantong pariwisata perairan semacam pantai, mata air, juga kolam renang. Apalagi, masyarakat juga menyambutnya dengan antusias. Parahnya, bahkan ada yang menyediakan panggung dangdut dan hiburan lainnya untuk meramaikan padusan ini.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat itu seharusnya membuka mata kita. Padusan yang belum jelas landasan hukumya dalam agama Islam sudah menjadi tradisi. Sementara beberapa amalan yang oleh ajaran Islam dianjurkan untuk dilaksanakan sebelum menjalankan ibadah puasa justru ditinggalkan. Seperti niat dan saling memaafkan sebelum menjalankan ibadah puasa.
Kalau memang ingin padusan silakan lakukan di kamar mandi masing-masing atau di kolam tertutup yang khusus untuk laki-laki saja atau perempuan saja. Itu lebih baik dan akan lebih menjaga.
Sekarang kembali pada diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk salah satu pelaku padusan di tempat umum terbuka yang lebih banyak mudaratnya tersebut???
(dari berbagai sumber)

Tradisi Jawa di Bulan Sya’ban

Bagi masyarakat Jawa, bulan Sya’ban ini dinamakan dengan bulan Ruwah. Para tokoh mengatakan bahwa kata ruwah berasal dari kata ngluru dan arwah. Pada bulan ini di beberapa daerah Jawa, terutama di pedesaan sering kali kita menjumpai orang-orang berbondong-bondong mengadakan ‘ritual islam’ dan berziarah ke makam keluarga atau tokoh yang dianggap berpengaruh di masyarakat setempat. Acara ini di beberapa daerah sering disebut dengan Nyadran atau Ruwahan.
Saking pentingnya kegiatan ini, beberapa perantau asal Jawa biasanya memposisikan waktu Nyadran ini di posisi tertinggi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Beberapa akan memilih mudik pada waktu ini daripada waktu lebaran. Didukung saat lebaran semua harga naik dan juga mudik lebaran juga berarti masa perjuangan penuh resiko, seperti transportasi yang semakin mahal, jalanan macet dan seterusnya.
Tradisi Nyadran ini antara satu tempat dengan yang lainnya berbeda-beda cara penyelenggaraannya. Yang jelas dan umumnya warga setempat dari anak-anak hingga sesepuh pada hari H akan berbondong menuju tempat khusus atau tanah lapang dekat makam. Tiap keluarga biasanya membawa makanan yang akan dinikmati bersama warga lainnya. Setelah dirasa warga sudah berkumpul, acara dilanjutkan dengan doa bersama (beberapa daerah menyebutnya tahlilan). Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar. Baru setelah itu warga bersama-sama nyekar atau ziarah ke makam keluarga . Tentu saja, sebelum hari H warga akan bergotong royong membersihkan makam.
Sampai saat ini, tradisi ini masih banyak yang mempertahankan. Kata para sesepuh , tradisi ini sudah turun temurun dari nenek moyang dan ini merupakan suatu bentuk penghormatan serta waktu yang tepat untuk mendoakan anggota keluarga yang sudah meninggal.
Pada umumnya keislaman masyarakat Jawa masih berupa Islam ‘pelangi’, warna warni dan campur aduk tak karuan. Dalam satu hal mereka mengaku sebagai muslim tetapi di sisi lain masih melakukan praktik peninggalan Majapahit yang bercorak Hindu. Dengan menilik sejarah munculnya Sadranan atau Nyadran atau Ruwahan itu, bahwa sebenarnya ritual ini bukanlah ritual Islam. Islam hanyalah menumpang dalam bentuk do’a. Konon perubahan do’a inilah hasil dari dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijogo, agar masyarakat Jawa tertarik kepada Islam. Tentunya dengan perubahan do’a memang mengubah, dari berdo’a kepada selain Allah menjadi berdo’a kepada Allah. Namun perubahan do’a tidaklah mengubah substansi ritual. Ritual ini tidak diajarkan oleh Islam. Memang, ziarahnya adalah sebuah sunnah Rosul, tapi ritual tetek bengek itu bukanlah ritual Islam. Karena itulah di beberapa wilayah, tradisi ini sudah diperbaiki sedemikian rupa. Acara makan-makan sudah ditiadakan, dan do’a bersama sudah tidak dilakukan lagi. Yang dilakukan saat ini tinggal ziarah. Dalam kegiatan itu yang dilakukan adalah membersihkan makam, dan mendo’akan jenazah keluarga yang dimakamkan di sana. Tidak membawa makanan tertentu, juga tidak ada acara makan-makan apa-apa.
Dalam tradisi ini, sering disebut juga tradisi ziarah kubur. Hal ini mungkin perlu diluruskan. Mengkhususkan waktu-waktu tertentu dalam melakukan ziarah kubur seperti pada bulan Sya’ban atau Ruwah ataupun pada hari raya Idul Fitri. Atau dengan kata lain menjadikan kuburan sebagai ied (perayaan) dan tempat berkumpul untuk menyelenggarakan acara ibadah di sana, sama sekali bukan tuntunan Islam. Dari Ali bin Abi Thalib ra. Berkata, bahwa Rosulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai arena perayaan dan jangan (pula) kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan (yang bebas dari kegiatan ibadah); bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawatmu akan sampai kepadaku.” (HR al-Bazzar, dengan sanad jayyid).
Yang juga bukan sunnah Rosulullah adalah melakukan ziarah secara berama-ramai. Jika pada asalnya dengan ziarah ini diharapkan akan mengingatkan kepada kematian, dengan dilakukan secara beramai-ramai maka akan hilanglah nilai tersebut. Kita dengar ceritanya, anak-anak asyik bermain-main. Orang-orang dewasa, setelah usai membersihkan makam, asyik bercerita ke sana ke mari (menggosip). Lalu di manakah atsar dari mengingat kematian???
//eyna right// (dari berbagai sumber)

Selasa, 13 Juli 2010

30 Hari Mencari Cinta-Nya

Tidak terasa sebentar lagi Ramadhan, bulan yang penuh berkah akan mnghampiri kita kembali. Waktu begitu cepat berputar. Senja Ramadhan tahun lalu serasa baru kemarin kita lalui. Tapi hangatnya Bulan Ramadhan tahun ini sudah terasa dan insya Allah kita akan menjumpai lagi Ramadhan tahun ini.

Seperti halnya menyambut tamu istimewa, pasti banyak hal yang kita lakukan untuk menyambut bulan penuh berkah ini. Bahkan tak sedikit yang telah mempersiapkannya 2 bulan sebelum Ramadhan, seperti yang Rasulullah lakukan. Salah satu bentuk persiapan tersebut adalah memperbanyak ibadah seperti puasa sunah dan membaca Al-Quran.

Bisa dikatakan kalau memperbanyak ibadah ini dilakukan dalam rangka “pemanasan” menuju Bulan Ramadhan agar nantinya kita tidak “kaget” dalam menjalani hari-hari pada Bulan Ramadhan hingga ibadah kita bisa maksimal. Tentu akan sangat disayangkan jika kita tidak mempergunakan waktu sebaik-baiknya dalam Bulan Ramadhan. Dalam Bulan Ramadhan, Allah akan memberikan bonus besar-besaran pada kita. Seperti kalau sebuah toko memberikan diskon besar-besaran pada para pembeli. Maka dari itu, pembeli akan sangat diuntungkan apabila membeli barang pada saat ada diskon di toko tersebut, apalagi kita membeli dalam jumlah yang besar, maka semakin besar pula keuntungan kita. Demikian halnya dengan Bulan Ramadhan. Kita akan sangat beruntung apabila kita dapat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan meningkatkan ibadah serta amalan-amalan kita.

Dengan harapan ibadahnya akan maksimal pada Bulan Ramadhan, jauh-jauh hari orang-orang telah mempersiapkan bekal. Baik itu mempelajari hal-hal tentang Ramadhan maupun menambah amalan shaleh.

Tak ada yang lebih dinanti selain datangnya bulan yang penuh berkah dan rahmat ini. Maka dari itu, marilah kita mempersiapkan diri dan membersihkan hati dalam menyambut Bulan Ramadhan. Agar dalam Bulan Ramadhan kita bisa meningkatkan iman dan takwa dalam menjalankan ibadah kita dalam rangka 30 hari mencari cinta-Nya. Aamiin…

Jumat, 09 Juli 2010

Kewajiban Menuntut Ilmu Bagi Setiap Muslim

Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Untuk itu, maka diutuslah Rasulullah SAW untuk memperbaiki manusia melalui pendidikan. Pendidikanlah yang mengantarkan manusia pada derajat yang tinggi, yaitu orang-orang yang berilmu. Ilmu yang dipandu dengan keimanan inilah yang mampu melanjutkan warisan berharga berupa ketaqwaan kepada Allah SWT.

Sebegitu pentingnya pendidikan, tentu saja kita tidak bisa memandang remeh pendidikan ini. Pendidikan adalah awal arah dari hidup seorang manusia. Dengan pendidikan yang baik, tentu akhlak manusia pun juga akan lebih baik. Tapi kenyataan dalam hidup ini, banyak orang yang menggunakan akal dan kepintaraannya untuk maksiat. Banyak orang yang pintar dan berpendidikan justru akhlaknya lebih buruk dibanding dengan orang yang tak pernah sekolah. Hal itu terjadi karena ketidakseimbangannya ilmu dunia dan akhirat. Ilmu pengetahuan dunia rasanya kurang kalau belum dilengkapi dengan ilmu agama atau akhirat. Orang yang berpengetahuan luas tapi tidak tersentuh ilmu agama sama sekali, maka dia akan sangat mudah terkena bujuk rayu syaitan untuk merusak bumi, bahkan merusak sesama manusia dengan berbagai tindak kejahatan. Disinilah alasan mengapa ilmu agama sangat penting dan hendaknya diajarkan sejak kecil. Kalau bisa, ilmu agama ini lebih dulu diajarkan kepada anak sebelum anak tersebut menerima ilmu dunia.

Ilmu dunia dan ilmu agama ini seperti halnya makanan kita. Ilmu dunia tanpa didasari ilmu agama seperti makan nasi tanpa lauk. Begitu juga sebaliknya, ilmu agama tanpa dilengkapi ilmu dunia seperti kita makan tanpa nasi. Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah maupun manusia. (QS. Al Mujadilah (58) : 11)

Kebodohan adalah salah satu faktor yang menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena itu, manusia butuh terapi agar menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT. Kemuliaan manusia terletak pada akal yang dianugerahi Allah. Akal ini digunakan untuk mendidik dirinya sehingga memiliki ilmu untuk mengenal penciptanya dan beribadah kepada-Nya dengan benar. Itulah sebabnya Rasulullah SAW menggunakan metode pendidikan untuk memperbaiki manusia, karena dengan pendidikanlah manusia memiliki ilmu yang benar. Dengan demikian, ia terhindar dari ketergelinciran pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah belah.

Di Indonesia, seperti kita ketahui, pendidikan wajib adalah 9 tahun. Ini adalah salah satu upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan Indonesia. Pendidikan merupakan kata kunci untuk setiap manusia agar ia mendapatkan ilmu. Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik. Tapi, orang yang menyadari akan pentingnya pendidikan, merasa sangat kurang dengan pendidikan 9 tahun tersebut. Apalagi pendidikan 9 tahun pun tak menjamin ilmu agama benar-benar masuk ke dalam roh. Pendidikan umum memberikan ajaran agama hanya satu kali dalam seminggu. Tentu saja itu tak cukup untuk jiwa kita. Jiwa manusia serasa haus akan ilmu agama. Tak ada salahnya kalau kita mencoba mencari pendidikan ilmu agama tersebut diluar, seperti membaca buku-buku agama dan mengikuti berbagai kajian agama.

Terkait dengan konsep pendidikan dalam Islam, Allah swt telah menggariskannya dalam surat Ali Imran [3]: 79. “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”

Dari ayat di atas diketahui, bahwa tujuan pendidikan bukan menjadikan manusia sebagai hamba ilmu, budak teori . Tetapi tujuan utama dari pendidikan adalah menjadikan manusia sebagai insan rabbani (manusia yang berketuhanan). Pendidikan tidak hanya menjadikan manusia pintar dan menguasai ilmu pengetahuan, namun menjadikan manusia sebagai manusia yang kenal dan takut dengan Tuhannya dengan ilmu yang dimiliki tersebut.

Rasulullah SAW pun memerintahkan kepada kita untuk senantiasa menuntut ilmu sepanjang masa. Seperti sabdanya, “Carilah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat”. Dengan demikian, hendaknya kita tak pernah bisa berhenti untuk mencari ilmu, karena ilmu itu begitu luasnya. Semakin banyak yang diketahui akan semakin sadar manusia itu, bahwa begitu banyak yang belum dia ketahui. Itulah kenapa dalam wahyu pertama yang diturunkan Allah swt, kata iqra’ diulang dua kali. Hal itu berarti bahwa membaca dan proses belajar harus selalu dilakukan. Sebab, semakin banyak kita membaca semakin mulia kita di depan manusia dan di mata Allah swt, karena kemulian Tuhan akan diberikan kepada orang yang selalu membaca (warabbuka al- akram/ dan Tuhanmu Maha Mulia).

- (dari berbagai sumber)-

Jama’ah dan Persatuan Umat

“Tidak ada Islam, melainkan dengan Jama’ah. Tidak ada Jama’ah, kecuali dengan Imamah (Kepemimpinan). Dan tidak ada Kepemimpinan, kecuali dengan ketaatan.” (Umar bin Khattab r.a.)
Kata Jama’ah sekarang ini sering kali dikaitkan dengan hal-hal negatif. Oleh masyarakat, Jama’ah dianggap aliran sesat. Ketika mendengar kata “Jama’ah”, yang ada dipikiran adalah aliran sesat yang meresahkan masyarakat.
Pengertian Jama’ah yang sering disalahartikan masyarakat tersebut tidak selamanya benar. Seperti apa yang dikatakan Umar bin Khattab r.a. , “Tidak ada Islam, melainkan dengan Jama’ah”. Jama’ah adalah bagian dari Islam. Islam tidak akan bisa berdiri kokoh jika tidak ada Jama’ah.
Seperti halnya dengan sholat. Sholat berjama’ah tidak akan berjalan kalau tidak ada jama’ahnya. Bagaimana bisa sholat dikatakan berjama’ah kalau hanya ada imamnya saja… begitu juga dengan Islam. Di dunia ini, berjuta-juta bahkan bertrilyun-trilyun umat yang beragama Islam. Islam tidak akan bisa kokoh jika umatnya tidak bersatu. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Kita mungkin berbeda, tapi kita tetap satu, yaitu agama Islam.
Kita dapat mengambil banyak pelajaran dalam kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud. Di pertengahan perang, kaum muslimin tercerai berai. Ada tiga faktor, yang menyebabkan berubahnya kemenangan menjadi kekalahan kaum Muslim seperti itu. (1) Pelanggaran terhadap perintah Nabi SAW oleh pasukan pemanah. (2) Berita kematian Nabi SAW. Ini melemahkan semangat banyak orang-orang beriman. (3) Perselisihan paham di medan perang tentang perintah Nabi SAW.
Hikmah yang dapat diambil dalam tertundanya kemenangan tersebut adalah sebagai jalan meruntuhkan kesombongan diri. Selain itu, Sudah menjadi kebiasaan bahwa para rasul itu juga menerima ujian dan cobaan, yang pada akhirnya mendapatkan kemenangan. Sebagaimana dijelaskan dalam kisah dialog Abu Sufyan dan Hiraqla (Heraklius). Di antara hikmahnya, apabila mereka senantiasa mendapatkan kemenangan, tentu orang-orang yang tidak pantas akan masuk ke dalam barisan kaum mukminin sehingga tidak bisa dibedakan mana yang jujur dan benar, mana yang dusta. Sebaliknya, kalau mereka terus-menerus kalah, tentulah tidak tercapai tujuan diutusnya mereka. Sehingga sesuai dengan hikmah-Nya terjadilah dua keadaan ini.
Kita memang sedang tidak menghadapi Perang Uhud dan sudah tidak mungkin lagi kita ikut perang Uhud untuk menegakkan bendera Islam seperti Musab bin Omair r.a. . Tapi tugas dan kewajiban kita sekarang adalah menegakkan ‘bendera’ Islam dimanapun dan kapanpun kita berada.
Kita juga harus menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam. Beberapa mungkin ada cara ibadah dan pemahaman Fiqih kita berbeda tapi yang perlu diingat, tujuan kita sama, yaitu ALLAH SWT. Jama’ah Islam akan semakin kokoh jika didasari dengan rasa persatuan dan persaudaraan.
Dalam masyarakat saat ini, banyak jama’ah Islam berdiri. Dasar dari masing-masing jama’ah ini sebenarnya sama yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Tapi memang ada beberapa pemahaman yang berbeda. kita tidak boleh saling menyalahkan dan merasa paling benar dengan cara ibadah kita. Mereka juga saudara kita yang mempunyai tujuan sama dengan kita.
Apabila kita senantiasa bersatu dan bersaudara, Islam akan semakin kuat. Seperti halnya sapu lidi, semakin banyak lidi maka akan semakin kuat dan kokoh untuk menyapu. Islam pun juga demikian, semakin banyak umat Islam yang berbaris dalam jama’ah Islam, maka semakin kokoh pula agama Islam untuk menyapu segala bentuk kekafiran di bumi ini.

Manusia Sebagai Khalifah????

Pemanasan global tentu saja bukan istilah asing lagi di telinga kita. Beribu-ribu orang dari kecil hingga tua berkoar-koar “Stop Global Warming”. Tapi apakah dengan mengibarkan spanduk penolakan global warming lalu semua masalah selesai?

Beberapa ilmuwan menyatakan pemanasan global terjadi karena faktor alam. Namun sebagian besar lagi menyatakan hal itu terjadi karena ulah manusia. Alquran menjawab perdebatan faktor penyebab pemanasan global melalui Surat Asy-Syura ayat 27. Di situ disebutkan bahwa penyebab kerusakan bumi itu adalah ulah manusia itu sendiri yang melampaui batas (berlebih-lebihan).

Manusia dilahirkan di bumi ini sebagai khalifah dengan kata lain penguasa bumi. Pandangan inilah yang menjadikan manusia melakukan tindak pengrusakan bumi seperti penebangan liar, membuang sampah sembarangan dan lainnya. Tentu saja, manusia adalah khalifah di muka bumi ini, tapi bukan berarti dia berhak menggunakan alam sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia tanpa memperhatikan alam dan masa depannya.

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al An’am:141)

Harus diingat, kita ini adalah tamu yang hanya singgah sebentar di bumi atau alam ini. Dan alam sebagai tuan rumah. Sebagai tamu yang baik, seharusnya manusia atau lebih tepatnya kita tahu diri dengan kedudukan kita sebagai tamu. Kita harus menghormati tuan rumah kita yaitu alam. Alam sebagai tuan rumah sudah memenuhi kewajibannya dengan memuliakan tamu, yaitu memberikan segala yang dibutuhkan manusia, dari bahan makanan, tambang, mineral juga yang paling penting adalah oksigen. Tapi dalam kenyataannya, manusia sebagai tamu berlaku kurang ajar pada tuan rumah. Manusia egois, ingin mengambil sebanyak-banyaknya apa yang ada di alam tak peduli bagaimana keadaan alam saat ini. Jika tuan rumah marah, manusia tak henti-hentinya mengeluh dan menyalahkan alam bahkan Allah SWT sebagai penyebab bencana alam. Padahal kalau ditelusuri sumber dari segala sumber masalah adalah manusia yang tak tahu diri dan tak tahu terima kasih ditunjukkan dengan manusia yang tidak bersyukur dengan segala nikmat yang diberikan Sang Pencipta-nya dan justru semakin durhaka pada tuan rumahnya, yaitu alam.

Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].

Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003].

Sekitar 65 persen penduduk Indonesia atau sekitar 125 juta jiwa menetap di Pulau Jawa yang luasnya hanya tujuh persen dari seluruh luas daratan Indonesia. Sementara dari sudut potensi air hanyalah 4,5 persen dari total potensi air di Indonesia sehingga menimbulkan benturan kepentingan. (walhi, 2006)

400 dari sekitar 4,000 industri di Jakarta yang mengelola limbahnya. Tidak ada sistem sanitasi di Jakarta sehingga air limbah seluruhnya dibuang ke sungai. Hanya sekitar 2 % air limbah di Jakarta mengalir ke instalasi pengolah air limbah, yang umumnya hanya melayani gedung perkantoran dan sejumlah perumahan. Sekitar 39% warga Jakarta memiliki septic tank, dan 20 % menggunakan lubang WC biasa (pit latrines).

Selain masalah di atas, sumber energi fosil mengakibatkan pencemaran udara yang dihasilkan oleh pembangkit-pembangkit energi, seperti gas sulfur dioksida (SO2) dan gas-gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida (CO2). Banyak penelitian menyebutkan bahwa GRK telah memicu terjadinya pemanasan global akibat adanya efek rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi akibat GRK yang terkumpul di atmosfer membentuk selubung yang menghalangi radiasi panas matahari yang dipantulkan bumi tidak dapat lepas ke atmosfer.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.

Segala sesuatu yang ada di bumi ini seperti tumbuhan, hewan dan sebagainya tersebut disediakan Allah semata-mata untuk manusia. Supaya dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah bisa maksimal. Tapi yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Manusia berlebih-lebihan dalam memanfaatkan sumber daya alam tersebut sehingga terjadi ketidakseimbangan di bumi ini. Kalau sudah begini, manusia pasti akan menyalahkan alam, tanpa merenung siapakah yang salah, kita sebagai manusia ataukah alam yang tidak tahu apa-apa yang menjadi korban tangan-tangan jahil manusia?? Kalau saja alam bisa bicara, pasti alam akan berteriak memprotes segala kekejaman dan tindak perusakan alam. Kalau khalifahnya saja tidak bisa menjaga bumi, bagaimana nasib kehidupan mendatang? Dan bagaimana dengan amanah yang diberikan Allah pada manusia sebagai khalifah? Apakah manusia “layak” disebut sebagai khalifah di bumi???