Sabtu, 28 Agustus 2010

Nuzulul Qur’an, Adat atau Tanggung Jawab?

Sebenarnya masih ada beda pendapat tentang kapan waktu pertama kali Al-Qur’an diturunkan. Ada tiga pendapat mengenai hal ini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu ada pada bulan Rabiul Awal. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu pada bulan Rajab. Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an itu pada bulan Ramadhan. Tapi para ulama menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an ada pada bulan Ramadhan karena Allah SWT berfirman yang artinya : “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)” (QS. Al-Baqarah: 185)
Maka dari itu, tidak heran jika sampai sekarang kita masih melihat masyarakat yang merayakan Nuzulul Qur’an. Biasanya pada tanggal 17 Ramadhan hingga memasuki 10 hari terakhir Ramadhan. Peringatan terhadap turunnya Al Qur’an diwujudkan oleh masyarakat dalam berbagai acara, ada yang dengan mengadakan pengajian umum. Dari mereka ada yang merayakannya dengan pertunjukan pentas seni, semisal qasidah, nasyid dan lainnya. Dan tidak jarang pula yang memperingatinya dengan mengadakan pesta makan-makan.
Sehingga, biasanya dibentuk panitia khusus untuk memperingati Nuzulul Qur’an ini. Selama Ramadhan, hari H inilah yang ditunggu-tunggu. Hari demi hari mempersiapkan konsep acara dengan matang hingga ibadah pun menjadi yang nomor dua. Bagaimana tidak, panitia tidak mau mengambil resiko acara peringatan Nuzulul Qur’an yang menghabiskan dana yang tidak sedikit ini kacau. Apalagi acara peringatan ini menghadirkan ustad dan grup qasidah yang cukup ternama yang juga dihadiri tamu-tamu dari desa tetangga.
Memperingati peristiwa Nuzulul Qur’an bukanlah hal yang penting dan harus menjadi prioritas. Rasulullah tidak pernah mencontohkan pada kita bahwa kita harus memperingati Nuzulul Qur’an. Karena pada dasarnya, Al-Qur’an ini diturunkan bukan untuk diperingati, tetapi untuk memperingatkan kita. Peristiwa turunnya AL-Qur’an bukanlah suatu hari raya bagi umat Islam. Dengan begitu, tidaklah pantas kalau kita ‘mengharirayakan’ Nuzulul Qur’an.
Rasulullah memperingati turunnya Al Qur’an pada bulan Ramadhan dengan membaca Al-Qur’an penuh penghayatan akan maknanya. Tidak hanya berhenti pada mudarasah, beliau juga banyak membaca Al Qur’an pada shalat beliau, sampai-sampai pada satu raka’at saja, beliau membaca surat Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa’, atau sebanyak 5 juz lebih.
Inilah yang dilakukan Rasulullah pada bulan Ramadhan, dan demikianlah cara beliau memperingati turunnya Al Qur’an. Tidak ada pesta makan-makan, apalagi pentas seni, nyanyi-nyanyi, sandiwara atau tari menari.
Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman dalam hidup kita. Alangkah lebih baik kita belajar dan mengamalkan Al-Qur’an. Daripada memperingati Nuzulul Qur’an dengan pesta tidak jelas maknanya. Karena dengan belajar dan mengamalkan Al-Qur’an, itu sudah menjadi salah satu kontribusi kita untuk tetap melestarikan Al-Qur’an. Tentu saja itu sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita sebagai seorang muslim. Bukankah tanggung jawab lebih indah dibandingkan dengan adat?
Kita mengaku mencintai dan beriman kepada Al Qur’an, dan selanjutnya kecintaan dan keimanan itu diwujudkan dalam bentuk tarian, nyayian, pesta makan-makan. Kapankah kita dapat membuktikan kecintaan dan keimanan kepada Al Qur’an dalam bentuk tadarus, mengkaji kandungan, dan mengamalkan nilai-nilainya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar