Senin, 02 Agustus 2010

Tradisi Jawa di Bulan Sya’ban

Bagi masyarakat Jawa, bulan Sya’ban ini dinamakan dengan bulan Ruwah. Para tokoh mengatakan bahwa kata ruwah berasal dari kata ngluru dan arwah. Pada bulan ini di beberapa daerah Jawa, terutama di pedesaan sering kali kita menjumpai orang-orang berbondong-bondong mengadakan ‘ritual islam’ dan berziarah ke makam keluarga atau tokoh yang dianggap berpengaruh di masyarakat setempat. Acara ini di beberapa daerah sering disebut dengan Nyadran atau Ruwahan.
Saking pentingnya kegiatan ini, beberapa perantau asal Jawa biasanya memposisikan waktu Nyadran ini di posisi tertinggi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Beberapa akan memilih mudik pada waktu ini daripada waktu lebaran. Didukung saat lebaran semua harga naik dan juga mudik lebaran juga berarti masa perjuangan penuh resiko, seperti transportasi yang semakin mahal, jalanan macet dan seterusnya.
Tradisi Nyadran ini antara satu tempat dengan yang lainnya berbeda-beda cara penyelenggaraannya. Yang jelas dan umumnya warga setempat dari anak-anak hingga sesepuh pada hari H akan berbondong menuju tempat khusus atau tanah lapang dekat makam. Tiap keluarga biasanya membawa makanan yang akan dinikmati bersama warga lainnya. Setelah dirasa warga sudah berkumpul, acara dilanjutkan dengan doa bersama (beberapa daerah menyebutnya tahlilan). Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar. Baru setelah itu warga bersama-sama nyekar atau ziarah ke makam keluarga . Tentu saja, sebelum hari H warga akan bergotong royong membersihkan makam.
Sampai saat ini, tradisi ini masih banyak yang mempertahankan. Kata para sesepuh , tradisi ini sudah turun temurun dari nenek moyang dan ini merupakan suatu bentuk penghormatan serta waktu yang tepat untuk mendoakan anggota keluarga yang sudah meninggal.
Pada umumnya keislaman masyarakat Jawa masih berupa Islam ‘pelangi’, warna warni dan campur aduk tak karuan. Dalam satu hal mereka mengaku sebagai muslim tetapi di sisi lain masih melakukan praktik peninggalan Majapahit yang bercorak Hindu. Dengan menilik sejarah munculnya Sadranan atau Nyadran atau Ruwahan itu, bahwa sebenarnya ritual ini bukanlah ritual Islam. Islam hanyalah menumpang dalam bentuk do’a. Konon perubahan do’a inilah hasil dari dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijogo, agar masyarakat Jawa tertarik kepada Islam. Tentunya dengan perubahan do’a memang mengubah, dari berdo’a kepada selain Allah menjadi berdo’a kepada Allah. Namun perubahan do’a tidaklah mengubah substansi ritual. Ritual ini tidak diajarkan oleh Islam. Memang, ziarahnya adalah sebuah sunnah Rosul, tapi ritual tetek bengek itu bukanlah ritual Islam. Karena itulah di beberapa wilayah, tradisi ini sudah diperbaiki sedemikian rupa. Acara makan-makan sudah ditiadakan, dan do’a bersama sudah tidak dilakukan lagi. Yang dilakukan saat ini tinggal ziarah. Dalam kegiatan itu yang dilakukan adalah membersihkan makam, dan mendo’akan jenazah keluarga yang dimakamkan di sana. Tidak membawa makanan tertentu, juga tidak ada acara makan-makan apa-apa.
Dalam tradisi ini, sering disebut juga tradisi ziarah kubur. Hal ini mungkin perlu diluruskan. Mengkhususkan waktu-waktu tertentu dalam melakukan ziarah kubur seperti pada bulan Sya’ban atau Ruwah ataupun pada hari raya Idul Fitri. Atau dengan kata lain menjadikan kuburan sebagai ied (perayaan) dan tempat berkumpul untuk menyelenggarakan acara ibadah di sana, sama sekali bukan tuntunan Islam. Dari Ali bin Abi Thalib ra. Berkata, bahwa Rosulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai arena perayaan dan jangan (pula) kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan (yang bebas dari kegiatan ibadah); bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawatmu akan sampai kepadaku.” (HR al-Bazzar, dengan sanad jayyid).
Yang juga bukan sunnah Rosulullah adalah melakukan ziarah secara berama-ramai. Jika pada asalnya dengan ziarah ini diharapkan akan mengingatkan kepada kematian, dengan dilakukan secara beramai-ramai maka akan hilanglah nilai tersebut. Kita dengar ceritanya, anak-anak asyik bermain-main. Orang-orang dewasa, setelah usai membersihkan makam, asyik bercerita ke sana ke mari (menggosip). Lalu di manakah atsar dari mengingat kematian???
//eyna right// (dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar